Kepada Para Kader Dakwah: Foke atau Jokowi?

Karena permintaan dari salah satu pengurus fimadani.com, saya menulis sebuah tulisan tentang kegalauan (beberapa) kader dakwah dalam menyikapi keputusan jamaahnya dalam pemilukada (klik di sini). Tadinya hanya ingin membuat link saja ke tulisan tersebut tetapi karena server fimadani beberapa kali tidak bisa diakses, saya salin ulang isi tulisannya di bawah ini.

Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan komentar ya?

Kader Galau dan Pemilukada

Aku tidak mau memilih. Kalau memilih adalah hak, aku merelakan hakku kulepas saja,” ujar seorang temanku yang tinggal di sebuah daerah khusus, bukan daerah istimewa atau daerah otonomi khusus, yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.

“Mengapa tidak memilih?” aku bertanya. Setahuku dia adalah seorang kader partai keren sehingga agak aneh bagiku mendengarnya berpendapat seperti orang-orang awam non partai.

“Karena aku suka dengan calon A tapi partaiku malah memilih calon B. Ya sudah, sekalian saja aku tidak memilih”

Aku manggut-manggut berusaha memahami. “Kamu tahu kenapa orang-orang memilih A, B atau tidak memilih keduanya?”

“Kenapa?”

“Karena mereka mempercayai informasi yang sampai ke telinganya atau matanya.”

“Maksudmu?”

“Kamu pasti memperoleh informasi tentang A dan B kan?”

“Ya. A itu memiliki kinerja yang bagus, hebat dan keren. Dia hanya didzalimi gara-gara salah memilih wakil. Wakilnya seorang dari kalangan minoritas.”

“Terus tentang B?”

“Hahaha… tidak ada yang perlu kuketahui tentang B. Aku warganya dan aku tahu betul betapa bobroknya daerahku selama dipimpin olehnya. Benar-benar menjadi daerah khusus. Khusus galian sepanjang jalannya, khusus konsistensi banjirnya dan khusus kemacetannya.”

Aku mulai mengerti. “Jadi kamu yakin bahwa A akan memimpin lebih baik dari B?”

“Pasti begitu. Memangnya kenapa? Apakah kamu punya informasi dzalim lain yang bisa dipergunakan untuk menyerangnya?”

Aku menggeleng. “Aku bukan pemilih daerahmu dan aku tidak terlalu suka dengan politik jatuh-menjatuhkan, kamu tahu itu. Aku hanya berfikir mengapa kamu sampai galau begitu.”

“Aku tidak galau. Aku hanya memutuskan untuk tidak memilih. Apakah itu salah? Aku ingin memilih A tapi aku juga tidak mungkin mengingkari partaiku.”

“Mengapa tidak? Bukankah ini era demokrasi?”

Ia menggelengkan kepala tanpa menjawab.

“Bisakah kusimpulkan bahwa kamu masih punya mempercayai partaimu meski dalam pemilihan ini memilih B?”

Ia mengangguk sambil menerawang jauh. Langit senja di daerahnya diselimuti asap tebal sehingga gedung yang hanya berjarak beberapa ratus meter pun terlihat kabur.

Menurutmu, mengapa partaimu memilih B?”

“Ada beberapa alasan, tetapi semua alasan itu sulit kuterima.”

“Misalnya?”

“Tentang kemungkinan A mengincar kursi RI-1, tentang penyerahan daerahku kepada kuasa kaum minoritas, tentang kepentingan golongan yang mengancam keutuhan negara dan banyak lagi alasan lainnya. Aku tidak terlalu care dengan alasan-alasan politis begitu.”

“Kamu tidak peduli karena kamu bukan orang politik?”

“Ya. Aku tidak mau berpolitik.”

Kamu tidak mau berpolitik atau… tidak tahu politik?”

Ia memandangku sejenak, tampak sedikit tersinggung.

“Maaf. Seperti kesehatan, ekonomi, sosial dan sebagainya, politik adalah kenyataan yang berlangsung di sekitar kita. Ikut atau tidak, terlibat atau minggir, kita semua mendapat pengaruh dari politik tersebut,” aku berusaha menjelaskan.

“Ya. Aku tahu itu. Karena itulah aku menjadi kader partaiku sekarang.”

“Maksudmu, kamu tidak mau pusing-pusing tentang politik sehingga kamu ikut saja kepada partai yang kamu percayai itu?”

“Ya. Aku kenal orang-orang dan pengurus di partaiku. Meskipun orang politik, aku yakin mereka tetap bersih dan peduli. Mudah-mudahan juga profesional. Dibanding orang-orang di partai lainnya, orang-orang dalam partaiku jauh lebih bisa dipercaya.”

“Kalau dibandingkan dengan partai yang memiliki calon A?”

“Dia tidak dimiliki partai.”

“Oh ya?”

“Mmm… tidak juga sih. Dia memang kader partai tertentu juga.”

Kamu lebih percaya kepada A meskipun didukung oleh partai tertentu itu, atau lebih percaya kepada partaimu meskipun mendukung B?”

Ia seperti terperanjat sejenak kemudian tersenyum. “Keren. Aku suka logikamu.”

“Maksudmu?”

“Iya, aku tahu aku sudah terlalu galau. Seperti kataku, seharusnya aku percaya saja kepada partaiku karena aku memang tidak tahu dan tidak mau tahu politik.”

Aku ikut tersenyum senang. “Jadi kamu akan ikut memilih?”

“Ya,” ujarnya mantap. “A atau B yang terpilih, aku tidak terlalu pasti tentang perubahan besar bagi kotaku. Tetapi aku tidak akan mengkhianati partaiku.”

Aku tercekat mendengar ucapan terakhirnya. Kata ‘khianat’ terasa terlalu keras di telingaku ketika keluar dari mulutnya.

Aku ikut partai untuk sebuah komitmen, Di. Ini tentang sesuatu yang sakral: mencipta peradaban baru di bawah naungan dakwah. Kemarin aku memang terlalu banyak membaca prestasi A di media sehingga aku sangat bersimpati kepadanya. Ditambah caci maki para pembenci A yang begitu kasar, aku jadi makin kuat mendukung A.”

Aku manggut-manggut sambil mengelus jenggotku yang saat itu sedang panjang. “Satu lagi. Bagaimana kalau keputusan partaimu keliru?”

“Aku yakin mereka mempunyai informasi lebih banyak dari informasi yang kuterima. Kalau pun mereka keliru, namanya juga upaya. Semua orang pasti pernah salah. Yang penting terus belajar dan memperbaiki diri.”

“Giliran aku yang jadi kagum padamu. Di partai lain, aku yakin tidak ada kader seperti kamu.”

Dia tersenyum. “Makanya ikut ta’lim di partaiku. Nanti kamu tahu apa saja yang dibahas di dalamnya. Politik memang terlihat besar dan perkasa, tetapi dalam dakwah ia hanya sebagian kecil saja. Ada agenda-agenda lain yang jauh lebih besar dari sekedar politik.”

“Oh ya?”

Ia tersenyum makin lebar. “Seharusnya begitu. Ada dakwah yang akan tetap berjalan dalam kondisi berpolitik maupun tidak, dalam kondisi menang maupun kalah.”

“Iya deh. Rasanya percakapan kita sudah cukup.”

“Terima kasih untuk nasihatmu ya? Kamu telah mengingatkanku tentang komitmen.”

Aku tersenyum sambil menerima jabat tangannya. Sebentar kemudian aku sudah melaju menembus kemacetan kota temanku itu. Ada sebuah sudut dengan bangunan-bangunan tua yang tidak terpelihara. Tanpa sadar aku berdesis lirih, “B, kalau sudah terpilih, tolong rawat kota tua ini agar seindah tempat wisata kebanggaan A ya? Sayang sekali, kota tua secantik ini tampak kumuh dan gersang…”

45 tanggapan untuk “Kepada Para Kader Dakwah: Foke atau Jokowi?”

  1. Bagiku… kalau cuma bisa taat pada kebijakan yang sesuai dengan keinginan dan maunya kita aja, namanya bukan berjamaah…
    tidak ada adrenalin yang terpacu…
    hidup ini terasa sangat flat…
    tiada makna kebersamaan…
    justru bersama itu terasa kala yang berbeda berlapang dada

    1. Setuju sekali. Akhi Prajurit Kecil ini memang mencerminkan pendapat prajurit. Karena prajurit, ya taat saja. Kalau prajurit tidak taat, panglima ga bisa ngatur apa-apa, cuman sibuk pidato menyampaikan latar belakang dan mendiskusikan masalah.
      Yang penting, sebelum meletakkan ketaatan, yakinkan kelayakan jamaah/panglima yang akan diikuti.

  2. nice pak. semoga Alloh jaga hati2 kita dari ghil pada saudara kita,, semoga Alloh beri kita bashiroh utk memfilter tiap khobar yg kita terima,, amin.

  3. hmmm…

    belum mudeng pak, masih galau memilih, mungkin ilmunya belum nyampe, tapi emosinya udah duluan ~_~ istikhoroh dulu deh nanti sebelum memilih…

    1. Hehehe… galau itu kalau perorangan Akh. Kalau bagi kader yang ana ajak ngobrol ini, ya tidak ada galau lagi setelah jamaahnya memutuskan.

      Itulah bedanya perorangan bebas dengan prajurit yang terikat.

  4. saya ga punya hak pilih
    tapi saya yakin saya tercatat sebagai kader
    cuma bertanya saja, dimana penjelasan mengenai mengapa pilih A dan mengapa pilih B bisa saya dapatkan?
    bukankah sekarang era keterbukaan…
    atau kita harus ikutan taklid buta dalam berjamaah ini?

    1. Taklid buta tidak boleh Mas. Tapi mengkritisi semua kebijakan hanya karena belum faham juga bukan kriteria kader dakwah.

      Nah, tentang saluran informasi, saya kira ini yang penting. Monggo cek ke atasan langsung, atau secara personal kepada para sahabat kader baik di dunia maya maupun nyata.

      Jika keraguan berlanjut kita chat kalau Mas Akusaudaramu ada waktu 🙂

    2. Antum liqo ga akhi? kalo antum merasa tercatat sebagai kader, tentunya hal yang antum pertanyakan udah dibahas di Liqo

        1. Intinya sih kalau perlu penjelasan lebih lanjut memang bisa nanya ke banyak fihak. Saya juga sering nanya kepada barisan murabbi, barisan struktur, ngobrol sama teman dan sebagainya.

          Semoga Akusaudaramu, gelombang keadilan dan Miftah engga pada sensi

      1. ini pertanyaan yang sering saya dengar ketika kita memulai sebuah diskusi…
        terkadang terasa menyudutkan, bahkan seolah-olah menggambarkan kalaulah tidak liqoat maka pantas saja tidak bisa memahami kebijakan para pimpinan..
        maaf mas didi dan kawan-kawan, pertanyaan sederhana saya sebenarnya hanya ingin menunjukkan bahwa kalaulah sebuah informasi penting di’hide’, maka beginilah jadinya.
        saya beruntung mempunyai tempat untuk bertanya (murobbi), walaupun untuk kasus ini saya tidak mengikuti terlalu jauh..(dan mungkin kalaupun kita bertanya, akan dijawab minggu depannya lagi karena informasi belum tersedia-misalnya)
        sekarang bayangkan orang-orang awam yang merupakan simpatisan kita. melalui media apa kita bisa menyampaikan informasi penting ini?
        liqoat? jauh bro…
        mulut ke mulut? seberapa luas cakupannya?
        padahal bisa dikatakan jumlah simpatisan yang tidak berada dalam barisan ini lebih besar dari pada jumlah kader.
        ini hanya perenungan yang mungkin juga telah dijawab oleh para pimpinan..
        okelah gitu aja… buat antum gelombang keadilan, hati-hati dalam berucap. Antum bisa saja menyinggung perasaan orang lain.
        jazakallah buat mas didi, saya dikasih tempat buat nulis.

  5. Kepada akhi AkuSaudaramu dan GelombangKeadilan:

    Karena ane tuan rumah di blog ini, jadi ane berusaha menjadi moderator.

    Dari pengamatan ana di lapangan, komunikasi dalam partai dakwah ini memang masih perlu diperbaiki. Meskipun pemimpin sudah berusaha maksimal dalam membuat putusan dan kebijakan yang paling efektif bagi umat (tentu saja paling efektif tsb sangat dipengaruhi sikon), komunikasi ke bawah sering kurang pas sehingga massa bawah mudah termakan isu atau prasangka.

    Untuk memperbaiki komunikasi, menurut saya, salah satunya adalah dengan berbaik sangka dan berlemah lembut kepada saudara yang bertanya. Apabila ia bertanya dari hatinya, semoga sikap kita memperjelas logika. Apabila ia bertanya berdasar prasangka, semoga kelembutan kita membuang prasangkanya. Apabila ia musuh yang sedang menyerang, sepanjang sejarah selalu kita temukan bahwa kebaikan hati selalu menang dan dicatat dengan tinta emas.

    Karena itu mari kita kembali ke sikap santun. Pertanyaan AkuSaudaramu adalah pertanyaan banyak kader tulus yang ingin berjuang tanpa keraguan.

  6. saya pilih c, al akh
    saya tau b sangat parah
    a masih mendingan, tapi dia diboncengi beberapa makhluk halus ( b juga loh jangan salah, memangnya kenapa coba semua bisa merapat di b ? ya karena ada yang halus halus itu)

    dan.. untungnya saya bukan prajurit yang harus ikut garis komando,
    saya cuma rakyat, yang kadang2 ikut angkat senjata sebagai gerilyawan

    tapi justru karena saya rakyat, sang pemimpin harusnya mendengarkan apa kata rakyatnya –kecuali kita bicara monarki

    1. Sebenarnya milih C berarti pasti kalah, tapi menarik sekali untuk mengetahui apakah berapa jumlah barisan C (otomatis barisan yang tidak percaya partai dan juga tidak mau memilih Jokowi?) di Jakarta.

      1. hanya 50% dari 5% pemilih bang faisal. kalo yang lain belum bisa dipegang..
        tapi ini bukan soal jumlah, al akh.. yang penting itu bersuara, biarpun cuma 2,5%, yang 2,5% ini berani bersuara semua.. ngga mungkin ngga diperhartikan. tinggal yang dengar (yang disasar untuk mendengar, maksudnya) buka headset nya untuk mencoba mendengar suara di luaran apa tidak

        1. Jadi mikir: demokrasi memang lucu-lucuan. Pemilih dipilih oleh rakyat, tetapi sebenarnya mayoritas pemilih ini tidak pandai bersuara.

          Sedikit yang tidak memilih justru yang nantinya berani bersuara mengetuk telinga si pemimpin, meski yang sedikit ini sama sekali tidak ikut memilihnya di masa lalu.

  7. buat mas didi, salam buat gelombang keadilan.. semoga ghirohnya dalam harokah ini dapat disalurkan dengan baik.
    Mohon doanya juga agar kami, barisan kader terbawah, dapat tetap tersenyum atau bahkan bangga melihat tingkah laku para pemimpinnya. Lebih jauh juga semoga para pemimpin harokah ini dapat lebih mencontoh prilaku para sahabat. Jangan sampai ditunjukkan kepada kami (oleh media) prilaku yang tidak berbeda dengan para pemimpin ‘kelompok-kelompok’ yang lain.

    1. aamiin…
      Halah Mas Akusaudaramu ini jangan terlalu serius lah.
      Kalau tentang para pemimpin, lebih baik langsung saja hubungi yang dianggap sebagai pemimpin. Kita sesama kader terbawah saling menguatkan saja.

      Apalagi di blog semacam ini. Enakan kita saling menghibur, kalau perlu sambil saling membanyol, agar tetap segar dan tidak terlalu capek dalam bergerak 🙂

  8. Selalu suka tulisan-tulisan ustadz amin yang sederhana tapi bertenaga dan menggugah kesadaran. Tsiqah kepada qiyadah, di era fitnah seperti ini, memang berat ya stadz. Sayangnya yang “menuduh” qiyadah tak lagi lurus bukan hanya musuh dakwah tapi juga barisan prajuritnya. Entah sang prajurit yang gagal paham atau sang qiyadah yang belum cakap mengemas pemahamannya kepada para prajuritnya, entah karena apa? Padahal tsiqah itu, bagi saya, menghadirkan ketenangan jiwa dan memantapkan hati kita (kita?) ketika beramal. Bagi yang tidak terbiasa dengan aturan berjamaah, tsiqah memang terasa berat, apalagi bila ketisqahannya berbenturan dengan emosi pribadi atau aspek-aspek yang sifatnya subjektif lainnya. Ini memang soal kedewasaan kita dalam berjamaah. Dan biasa bagi mereka yang belum dewasa secara jamaah memang lebih banyak bicara dan “ngambeknya” ketimbang amal dan manfaatnya bagi sesama.

  9. Suka aneh ga sih kalo ada kader yg “galau” dgn hasil keputusan syuro?? bukankah kita harus tsiqoh pada para qiyadah?? Menurut ana, dalam pilkada putaran 2 ini, para qiyadah kita sudah berusaha keras untuk mengambil keputusan yg terbaik…

    1. Tidak merasa aneh karena sepanjang sejarah (termasuk era Nabi saw) juga banyak pengikut yang tidak sefaham dengan pimpinan. Tugas kader adalah untuk taat, tugas pimpinan adalah untuk menjaga kenyamanan kader dalam taat (bahasa Gusnuk: tsiqah).

      Galau, beda pendapat, ngeyel itu wajar dalam jalan dakwah. Yang penting segera kita atasi sebaik mungkin.

      Darimana bisa belajar kalau tidak pernah ada kesalahan…? #Quotes

      1. Ya benar. Menjaga kenyamanan kader dalam menunaikan ketaatannya. Ini memang bukan perkara mudah, karena butuh dada yang lapang dan hati yang ikhlas. Orang yang sempit hati tidak mendapat tempat dalam urusan ini.

        1. Ane perjelas maksud Gusnuk:
          Tugas murabbi adalah menumbuhkan rasa tsiqah yang membuat para mutarabbi di bawahnya merasa nyaman. Mereka harus berlapang dada ketika dieyel bahkan mungkin dicaci sebagai oportunis, hedon, ketularan kapitalis dsb.
          Bagi yang masih sempit hati, jangan segan diskusi dengan para kader yang meski megap-megap tapi tetap bertahan di jalan dakwah penuh makar ini…

          Gitu kan Gus? Yang sempit hati tidak harus meninggalkan arena dan menyerahkan perjuangan kepada para kader saja kan?

  10. Walaupun bukan warga Jakarta..ak masih ga habis pikir knp PKS pilih Foke yaa…..walaupun pilkada udah usai ak masih ingin terus mencari jawabnya…gara pro Jokowi ada temenku yang menyuruhku “beristighfar#..mohon pencerahannya…

    1. Jujur saya juga tidak faham mengapa PKS memilih Foke. Hanya saja, saya melihat pemilihan Foke atau Jokowi hanya area ijtihad (kebijakan), bukan area halal-haram.

      Dalam area halal haram, kita harus memegang prinsip meski harus menggigit akar pohon sendirian.
      Dalam area ijtihad, kita harus mengutamakan persatuan jamaah meski hati seperti berontak.

Tinggalkan Balasan ke didisederhana Batalkan balasan