Menjadi Pengantin Baru Lagi – Sakinah

Pengantin baru adalah kerepotan, biaya tinggi dan mungkin sisa utang membengkak. Tapi percayalah, itu hanya efek samping. Benar-benar berefek ke samping, karena setelah itu selalu ada seseorang di samping kita.

Kata yang tepat tentang pengantin baru adalah: tidak ada yang indah, tidak ada yang enak. Ya, karena kemudiannya suangaaaaaat indah dan uweeeeenaaaaaa…k tenan. Begitu kata orang, dan mudah-mudahan begitu juga kata hadirin sekalian.

Materi pengajian ini bukan untuk menghakimi, menganggap hadirin tidak lagi merasakan nikmatnya pengantin baru dalam kehidupan bersama pasangan. Bukan pula untuk sok-sokan menawarkan motivasi super mujarab yang bisa mengubah keadaan keluarga menjadi surga, rumah menjadi jannah dan anak-anak menjadi enak-enak (kadang keduanya dihubungkan).

Materi ini hanya mengajak kita melihat cerita sebuah keluarga, atau beberapa keluarga, siapa tahu kita bisa mengambil pelajaran darinya.

Jadi netral saja. Mari berbagi, ini hanya cerita. Tentang sebuah keluarga di luar sana.

==============

Sakinah

Sakinah itu tenang. Bayangkanlah fikiran yang damai, hati yang tenteram dan wajah yang ceria. Tidak sampai melonjak-lonjak apalagi menjadi lebay, tetapi bibirnya siap tersenyum kapan saja dan di mana saja.

Demikianlah Allah menjadikan pasangan kita sebagai pemantul ketenangan. Kita menjadi tenang karenanya, dan ia menjadi tenang karena kita.

Tenang adalah kondisi aktif. Meski terlihat sebagai sesuatu yang diam, tenang menyimpan energi potensial yang siap menolong pasangan kapan saja dan di mana saja. Tenang tidak bermakna tidak peduli apalagi frustrasi. Tenang adalah menerima pasangan secara keseluruhan dalam optimisme yang penuh. Bukan menerima saja pasangan yang ada, entah baik entah buruk. Bukan pula sikap masa bodoh, punya masa depan atau tidak.

Tenang adalah kondisi aktif, seperti kata peribahasa air tenang menghanyutkan. Tenang adalah energi potensial, tempat para mujahid dan mujahidah bertemu, melahirkan generasi penerus dan mendidik mereka dalam benderang cahaya surga, sekalipun di luar rumah gelap pekat oleh naungan dajjal durjana.

Apakah kondisi keluarga cerita kita ini tenang?

Sayangnya tidak. Pasangan cerita kita hanya pasangan yang bertahan dalam ikatan nikah, tetapi tidak dalam gelora cinta.

“Cinta itu hanya awal, Mas. Setelah itu kita kembali ke kenyataan dunia. Yang membosankan, yang melelahkan, tetapi harus dijalani sebagai rutinitas. Orang bilang cinta itu buta, dan pernikahan membukakan matanya. Mungkin kecewa, tetapi mau bagaimana lagi?”

Oh… Kasihannya….

“Tidak parah-parah amat kok Mas. Istri tetap masak sarapan tiap pagi dan kami bercinta sepekan sekali. Sesuai sunnah nabi lah. Tetangga-tetangga juga bilang kami pasangan serasi.”

Oh, jadi hangatnya cinta itu tetap terasa dan sesekali letupannya membuat dunia hanya milik berdua?

Ia menggelengkan kepala sambil menghela nafas. Kita tidak perlu mendengar jawabannya, kita sudah tahu dari mimik yang ditunjukkannya.

Ia adalah salah satu dari orang yang terjebak dalam mitos pernikahan. Bahwa menikah adalah awal sakinah. Bahwa menikah adalah gerbang surga. Yang ia rasa, menikah adalah awal kehidupan yang datar, membosankan, sekaligus berisiko tinggi.

Bahkan ada yang bilang, menikah ternyata tidak sesulit yang dibayangkan para bujangan. Bercerailah yang susah. Proses cerai jauh lebih panjang dan persiapannya jauh lebih berat….

Oke, sudahlah. Itu sudah terjadi, dan kita ingin membantunya. Karena itu kita memberi pertanyaan pertama, apakah ia, sang kekasih yang telah menjadi pasangan mengikat, cukup berharga bagimu? Apakah ia layak dipertahankan, atau sebenarnya ia adalah beban? Apakah ia seseorang tercinta atau kanker yang menjadi bagian tetapi lebih baik jika diamputasi saja? Apakah bersamanya terasa menggairahkan, atau ia mematikan semua lampu-lampu keceriaan? Apakah engkau ingin melonjak ketika ia datang, atau begitu muram ketika ia menelepon akan tiba beberapa menit lagi?

Apakah ia masih berharga bagimu?

Beberapa orang tenggelam dalam hubungan yang kering dan hampa, lalu menyesal seumur hidup setelah pasangannya dipanggil Sang Kuasa. Kadang seseorang baru terasa berharga ketika ia tiada. Maka selagi ia masih ada, cobalah jawab dengan jujur: apakah ia berharga bagimu?

Apakah ia layak menjadi suami atau isteri, yang menuntut kasih sayangmu?

Apakah ia layak diberi perhatian sedemikian rupa, dimasakkan yang terenak, dihidangkan kopi ternikmat, dan dilayani layaknya raja-raja?

Apakah ia layak dilepas seperti mujahid, dan disambut sebagai juara?

Apakah ia semua itu? Jadi apakah ia sebenarnya berharga?

Orang yang berkualitas memberikan kualitas, orang yang tidak berkualitas memberikan sampah. Jika ia berharga, persembahkanlah padanya kualitas. Dan kualitas tertinggi adalah perhatian, kasih sayang, cinta.

Bukan cangkir kopinya. Bukan nasi gorengnya. Bukan pula cium tangannya. Tapi perhatian, kasih, cinta. Tiga hal yang membuat kopi, nasi goreng dan cium tangan menjadi istimewa….

Pertanyaan kedua, setelah apakah ia berharga bagimu, adalah, apakah kamu berharga baginya?

Apakah kamu adalah ‘seseorang’ baginya? Apakah kamu bukan pembantu, bukan majikan, bukan budak bukan pula penjajahnya? Apakah kamu dirindukannya, diharapkannya, dicemaskannya?

Lalu pertanyaan ketiga, apakah hubungan ini berharga bagi kalian berdua? Apakah tidak lebih baik jika kalian berpisah saja?

Lalu kita bicarakan tentang orang lain, tentang hubungan lain, tentang potensi dan risiko lain…?

Apakah kamu bisa lebih menghargai, bisa merasa lebih berharga, sehingga kalian berdua sepakat menjunjung tinggi hubungan suci itu? Sehingga kamu memilih menikah lagi?

Atau kamu tahu bahwa dengan siapa pun, dalam pola apa pun, tidak ada yang bisa memberimu harapan? Sehingga kamu memilih sendiri, menyendiri ?

Atau kamu tersadarkan oleh cahaya surga, yang mengalir ke dalam kamar kalian bukan melalui televisi tetapi melalui lantunan firman ilahi? Yang membuat kedua matamu basah, dan kamu teringat indahnya keabadian? Yang menyadarkanmu tentang apa yang telah lama hilang…. Yaitu sakinah?

Tenang, tenanglah wahai jiwa.
Pandanglah ia yang pulas di sisimu, dan hadirkan doa-doa tulusmu untuknya
Lalu berjanjilah untuk menghargainya setinggi nilai kekasih, dan lakukanlah pengorbanan paling tulus untuknya; pengorbanan karena menjadikan dirimu kekasihnya, yang membela-melayani-menjunjung tingginya atas nama cinta. Cinta, sesuatu yang telah dibuang banyak orang, diganti tempelan materi aneka rupa. Cinta, yang telah dimasukkan peti oleh banyak orang, dijadikan alas lampu beraneka warna. Cinta, yang telah dibuang jauh, dan ditinggalkan orang-orang buta….

Tenang, tenanglah wahai jiwa
Ia tidak mengancammu karena murka, ia tidak menjauhimu karena bosan. Ia hanya rapuh dan tidak mengerti, sehingga berfikir bahwa orang tulus akan merugi dan cinta hanya janji-janji dusta.

Tenang, tenanglah wahai jiwa.
Lalu nyalakan pelita ketenangan esok, lusa dan selamanya. Ketika engkau membangunkannya, menyiapkan makan paginya, membungkuskan bekal makan siangnya.

Tenang, tenanglah. Karena ia sangat berharga….

==================

Sakinah selesai. mawaddah wa rahmah to be continued, insya Allah.

BTW ini bahan ngaji bareng ibu-ibu Dharma Wanita 🙂

7 tanggapan untuk “Menjadi Pengantin Baru Lagi – Sakinah”

  1. hmmmm…. ==a

    agak binun pak bacanya…

    atau mungkin karena ane gak ngalamin sendiri ya..? (Alhamdulillah :D)
    Atau mungkin juga karena kurang pengalaman 😀
    Tapi na’udzubillah, jangan sampe deh mengalami yang diceritakan -_-”

    Yang bikin penasaran, sebenarnya masalahnya apa sampe dia mengalami cinta “Yang membosankan, yang melelahkan, tetapi harus dijalani sebagai rutinitas”..??

    Coz, kalo yang ane rasakan sekarang, hidup jadi penuh harapan, timbul keberanian untuk meraih mimpi yang sebelum menikah pikirannya tidak akan mungkin mimpi itu bisa tercapai….

  2. masih menanti nasihat lanjutannya
    *gelar tiker dan pesan kopi joss*

    ehh tapi tadz.. mengingat judulnya pengantin baru lagi – sakinah.. saya tadinya menduga tulisan ini mencoba memberi saran bagaimana ceritanya 1) supaya berasa jadi pengantin baru lagi, atau 2) memang jadi pengantin baru betulan..

    *beringsut2 minggir sebelum disambit juadah bakar*

Tinggalkan Balasan ke lumut hijau Batalkan balasan