Buat Apa Bertarung Kalau Bisa Menambah Tidur?

Pagi ini awal masuk sekolah. Dengan dua anak bersekolah dan empat Kaka yang membantu, Umi masih kelabakan menyiapkan segala sesuatunya. Abi sama sekali tidak membantu karena harus berangkat segera ke pekerjaan.

Pertanyaan yang muncul adalah… buat apa bergegas-gegas sedemikian rupa jika hidup bisa dijalani dengan santai?

Pertanyaan diatas muncul karena gojek yang menjemput minta maaf untuk keterlambatan… perempatan Japos macet katanya. Giliran aku sudah naik gojek… sampai di gerbang Permai gak bisa keluar saking penuhnya sepeda motor dan mobil yang mau turun ke jalan.

Terpaksa lewat Nila Kandi. Jalur yang tak kusukai karena banyak tanggul dan berkelak-kelok… masalahnya: mau lewat mana lagi?

Nila Kandi lancar meski pelan karena jalannya bertanggu-tanggul. Sampai Mencong kembali macet total. Ada SD yang pengantarnya meluber ke jalan-jalan.

Berikutnya kuamati tiap sekolah memang menciptakan kemacetan sehingga muncul pertanyaan di atas. Buat apa aku bergegas menembus kemacetan… kalau senenarmya aku bisa bobo santai di rumah?

Memang ada manfaatnya juga bergegas. Aku merasa lebih sehat dan hidup. Tapi apa perlu sampai separah ini?

Kemudian muncullah pertanyaan sekaligus gagasan berikutnya.

Mengapa petinju tetap naik ring?

Mengapa pengembara tetap merantau?

Mengapa pendaki tetap mencari gunung berikutnya?

Petualangan. Adrenalin. Semangat. Kegembiraan. Juga inspirasi, perenungan dan aneka kesan yang diperoleh selama menjalani kesulitan…

Kita bersusah payah bukan karena terpaksa. Bukan karena uang. Bukan karena perbudakan. Melainkan karena ambisi. Naluri. Karena insting untuk mencari hidup yang lebih bisa dinikmati.

Memang enak tidur di hotel, menikmati spa dan makanan beraneka, tapi bukankah lebih enak berjemur di pantai? Bukankah lebih seru bungee jumping? Bukankah Mount Everest lebih menantang?

Panggilan-panggilan itu bisa saja diabaikan dan kita berhenti pada apa yang telah kita capai.

Buat apa membalap kalau lintasannya hanya lingkaran… berhentinya juga di tempat berangkat?

Buat apa mendaki jika akhirnya turun lagi?

Buat apa berlayar jika kembalinya ke darat juga?

Kita bisa memilih diam, menikmati, merasa tua dan lemah untuk bertualang. Atau sebaliknya. Mengikuti panggilan hati, menempuh bahaya, menembus rintangan. Demi hidup yang lebih hidup, demi hari yang lebih berseri, demi detik yang lebih menantang.

Kemacetan hari pertama sekolah adalah penyingkap tabir. Apakah kita petualang atau pemalas? Atau pemalas yang dipaksa bertualang?

14 tanggapan untuk “Buat Apa Bertarung Kalau Bisa Menambah Tidur?”

Tinggalkan komentar