Liqa I: Tiga Ajian Sakti dalam Al Faatihah

Kereta api itu hampir penuh tetapi aku masih mendapat sebuah tempat duduk di dekat pintu. Dengan tergesa aku mendaratkan tubuhku di sana, tepat bersamaan dengan seorang bapak-bapak yang mendadak muncul di depanku. Merasa telah berebut dengannya, aku tersenyum sambil mempersilakannya mengambil tempat dudukku.

“Oh, tidak usah. Terima kasih,” ujarnya, “Ini Mas Didi yang suka mengisi pengajian di masjid Ziyadah kan?”
Aku mengangguk malu. “Bapak tinggal di komplek A?”

Orang itu mengangguk. “Ya, saya suka dengan pengajian Mas Didi. Cuman saya tidak suka banyak nanya jadi mungkin Mas Didi tidak begitu ingat dengan saya.”

Aku tersenyum lagi. “Selain pengajian formal ada juga pengajian informalnya Pak. Kalau ada waktu, datang saja pas Hari Minggu pagi. Pekan ini di rumah Pak Ridwan, insya Allah.”

“Oh, jam berapa?”

Sebentar kemudian kami mengobrol kesana kemari dengan asyik sampai akhirnya tanpa terasa kereta tiba di Stasiun Pondok Ranji.

=======

Pagi itu aku datang ke rumah Pak Ridwan dengan membawa sepiring kue pisang buatan anak. Sudah enam orang yang hadir, termasuk Pak Eko yang kuajak bergabung setelah berkenalan di kereta api kemarin-kemarin. Lima menit setelah kedatanganku, Fikri datang dengan terburu-buru sambil melemparkan senyum dan ucapan khasnya, “Huft…. hampir saja terlambat.” Di antara kami, Fikri memang paling tepat waktu. Maksudku, ia tidak pernah datang jika waktu yang kami sepakati belum tiba.

Kami memulai dengan tilawah (membaca Al Quran) secara bergantian. Karena Ramadhan kemarin pengajian kami telah khataman (menamatkan satu kitab), pagi itu kami tilawah dari surat yang paling awal: Al Fatihah. Setiap orang membaca satu halaman sehingga tilawah berakhir pada halaman sepuluh (why 10 page?)

Imran yang kebagian membawakan materi memulai pembahasannya. Seperti biasa, pembahasan berlangsung santai diselingi ngobrol sana-sini (bahasa kerennya: ‘tanya jawab’).

“Saya akan membahas tiga ajian sakti dalam Al Fatihah.”

“Lho, kok tiga? Bukannya ada tujuh?”

“Tiga saja dulu lah, emang kita mau liqa sampai waktu Dzuhur? Wus-wus-wussshhhh…. ciat-ciatt-ciaattttt…. Ajian pertama bernama ta’awwudz: A’uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim. Artinya: Aku berlindung kepada Allah, dari godaan syaithan yang dirajam. Ajian ini bisa menangkal, mengusir, menaklukkan sekaligus melindungi diri dari musuh terbesar: syaithan.”

“Halah. Kayak sinetron. Ustadznya bisa terbang dan lompat ke awan yak…”

“O tidak bisaaa… Justru ajian pertama ini sangat hebat sehingga tanpa perlu lompat dan sebagainya setan langsung takluk.”

Buanglah segala tolak bala, tolak miskin, tolak api, apalagi tolak cinta dan tolak kasih sayang… ganti dengan sering-sering melafadzkan ta’awwudz…

Hupsss….

Dan ajian kedua adalah ajian basmalah: Bismillaahirrahmaanirrahiim, artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan Basmalah, segala penyakit dan cacat hilang sirna. Menjelmalah hati menjadi putih bersinar, mengkilap berkilauan. Niat menjadi ikhlas, dan semua nafsu-tamak-dendam-serakah-syirik-munafik lebur…. dalam satu fokus yang damai dan tenang… Allah… Allaah…”

“Uh. Berkhasiat apa saja nih bismillaah?”

“Super banyak. Karena semua tindakan yang dimulai bismillaah sekejap berubah menjadi ibadah… mendekatkan diri kepada Yang Maha Mulia, Yang Maha Perkasa, Yang Mahakaya, Pengasih, Penyayang…. Bayangkanlah logam mulia yang bersih dan bersinar bekilauan… Ia kuat, ia mempesona, ia sangat berharga, ia tak tergantikan…. Bismillaah….

Dan ajian ketiga adalah hamdalah: Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Artinya: Segala puji bagi Allah, Pemilik-Penguasa-Pengatur semesta alam.

Setelah bisa menaklukkan setan.

Setelah bisa menjadikan diri mulia.

Kemudian tunduk… tunduk…. merendah…. bersimpuh….. mengakui: ‘segala puji, segala kemuliaan, segala kehebatan, segalanya…. hanyalah milik Allah…. bahkan segala kemampuan kita pun sekedar pinjaman dari setitik kecil anugerah-Nya…. sehingga tidak layak menyombongkan diri, tidak layak merasa bangga, tidak layak merasa sedikit pun eksistensi….

Diri ini adalah tidak ada apa-apanya….

Apa pun pujian orang, segala puji hanyalah tertuju pada Allah….”

(Tiga ajian ini pernah juga diposting di http://didisederhana.multiply.com/journal/item/381/Tiga-Ajian-Sakti)

Usai pembawaan materi Pak Eko sempat bertanya, “Eh liqa itu artinya apa sih?”
dan dengan santai Pak Imran menjawab, “Artinya meeting boss. Pertemuan. Tapi karena isinya pengajian jadi dipakai bahasa Arab, biar ketika kita datang yang terbayang adalah perbaikan spiritual dan karakter, bukan duit atau materi seperti meeting yang kebarat-baratan itu.”

Alhamdulillaah akhirnya tulisan ini selesai. Rencananya, mau nulis tentang serial liqa ini tiap dua pekan sekali. Syukur-syukur bisa lebih sering. Tujuannya buat mengingatkan temanteman diri sendiri yang sudah bekerja, sudah bukan mahasiswa, sudah menjadi bapak, yang kadang menganggap: liqa is dead…

Yang mau gabung jangan lupa monggo tinggalkan komen di bawah… Bisa login pakai fb, twitter, atau nama samaran juga boleh selama berorientasi silaturahim dan saling memberi manfaat.

48 tanggapan untuk “Liqa I: Tiga Ajian Sakti dalam Al Faatihah”

  1. Sejak mahasiswa sampai sekarang liqo nya kayak gitu gitu aja. Nggak ada hal yg baru dan menarik. Malah jadinya nesu nesu sepulang liqo karena kenyataan yang didapat tidak sebesar harapan…huhhh

    1. Di daerah mana? Kalau pengen ikut liqa yang di dunia nyata, mungkin saya bisa cari teman yang bisa bantu untuk daerah tersebut.
      Kalau untuk dunia maya, ikut liqa di blog ini saja :D. Waktunya fleksibel sebisanya Anonymous baca dan komen 🙂

  2. keren liqo nya ustadz :)…..tapi kebanyakan daerah sini kok malem2 ya hehehe….

    kalau pagi mungkin untuk kalangan menengah keatas kali ya (umur red) 😀

    1. Di dunia nyata kebanyakan liqa memang malem. Kalau siang mereka kuliah/kerja. Kalau Sabtu-Minggu buat aktivitas yang seabreg banyaknya.

      BTW umur menengah itu berapa sih?
      (khawatir udah sampai menengah)

  3. hmm..
    pak, ada anggapan bahwa liqa bisa diganti dengan membaca buku. Bahkan lebih efektif membaca buku daripada liqa…

    gmn menurut bapak? *sambil nyodorin mikrofon

    1. Kalau tujuannya ‘hanya’ menambah ilmu sih bisa saja liqa diganti membaca buku. Tapi kalau tujuannya untuk sebuah tindakan, buku saja tidak cukup.

      Jangankan agama yang tentang dunia akhirat Akh. Belajar silat saja tidak bisa hanya dari buku.

      *ini mikrofon pinjam ke M*M ya? dipake mati-mati melulu?

      1. *ngumpetin mikrofonnya.. malu ..

        oo, gitu ya pak..
        Tapi mungkin kasuistik ya pak, ada beberapa liqa yang ‘terpisah’ antara ilmu & amal.
        Jadi ada yang nambah ilmunya aja, amalnya tidak. Begitu juga sebaliknya.

        *sekarang nyodorin keripik buat nemenin ngobrol

        Beruntung yang bisa dapet ilmu sekaligus amal juga. Pernah ane ketemu yang murobbinya itu lulusan Mesir, pola pikirnya maju, orangnya keras tapi enak diajak ngobrol, trus kalo ada suatu masalah, dia sering ngasih pendapat yang tidak umum tapi jitu. Jadi otak saya kebuka “oh ada toh cara yang begitu”.

        Cuman pas ane mo daftar di liqaannya, ditolak karena sudah tidak terima binaan baru T_T

        1. Dalam liqa (di dunia nyata) faktor murabbi memang kuat, tetapi seharusnya tidak dominan. Peserta juga seharusnya bermental pembelajar dan haus amal sehingga jika sang murabbi (Mr) kurang komunikatif atau kurang hebat bisa ditutup dengan hasrat belajar dan beramal dari para peserta.

          Karena liqa memang unik. Tempat mencari ilmu tapi bukan madrasah (guru-murid), tempat nongkrong tapi semua dituntut beramal dan tidak boleh omong doang, tempat ngaji tapi suasananya asyik dsb…

          1. hmm… betulbetulbetul…

            murobbi yang lulusan Mesir itu dosen saya yang dulu pernah ngasih tugas wawancarai preman yang waktu itu wawancaranya bareng bapak ke Tanah Abang (ketawa aja kalo inget betapa ngerinya dulu mau interview preman :D)

            ups… afwan jadi geje *kabur

          2. belum siap batin pak 😀

            Ntar malah ane yang ‘didakwahi’ hehe… ketemu bapak langsung pamer tato ama tindikan :)) :))

Tinggalkan Balasan ke nazhalitsnaen Batalkan balasan